Satu hal yang membuat kita terlihat berbeda dari orang lain adalah adanya sesuatu yang istimewah didalam diri kita. Kompetensi yang mungkin jika diukur oleh sejumlah nominal tidak akan sebanding nilainya. Masih banyak saat ini yang belum mampu melihat potensi dasar dalam dirinya yang jika di asah maka akan melahirkan sebuah maha karya yang luar biasa.
Assalamu'alaikum sahabat penulis,
Wanita pada era kartini adalah wanita yang dibatasi dengan segala tata aturan yang berlaku dan berjalan sesuai dengan adat di masyarakat. Wanita tidak boleh sekolah pada jenjang yang tinggi, wanita tidak boleh bekerja terlebih lagi wanita hanya boleh DSK (dapur, sumur dan kasur.) Artinya Wanita pada zaman itu hanya boleh memasak, cuci pakaian dan melayani semua kebutuhan lelaki. Tetapi tahukah kalian apa yang membuat Kartini berbeda dengan para wanita pada zaman itu ? yaa... Kartini muda saat itu berani mendobrak adat yang sudah tertanam sejak zaman nenek moyang, Kartini muda berani menentang ketidakadilan yang dirasakan kaumnya, dan yang lebih kerennya lagi Kartini muda hobi menulis. Langkah awal yang diambil oleh Kartini muda saat itu adalah menulis karena dalam keyakinannya "dengan menulis dapat mengubah peradaban" Hal inilah yang membuat Kartini dikenang sampai detik ini dan berhasil membawa wanita Indonesia menjadi wanita yang lebih cerdas dan tangguh.
Lain ladang lain belalang, beda kondisi masyrakat, peradaban dan budaya maka beda pula cara yang ditempuh. Al-Khawarizmi seorang ahli matematika atau yang biasa kita kenal dengan sebutan bapak Matematika. Muhammad bin Musa Al-Khawarizmi lahir di kota Khawarizmi (Khiva), Uzbekistan pada tahun 780 M/ 164 H, dia adalah seorang ahli dalam bidang matematika, astronomi, astrologi, dan geografi. Membaca dan menulis adalah sebuah aktivitas yang tidak pernah dia tinggalkan. Seorang yang selalu saja haus akan ilmu pengetahuan ini adalah salah satu dari sekian banyak ilmuwan muslim yang diakui oleh dunia barat. Dan salah satu penemuannya yang paling besar dan tetap digunakan sampai hari ini adalah penemuan angka 0 (nol.) Jika tidak ada penemuan angka 0 (nol) maka hari ini kita tidak akan bisa menggunakan komputer, televisi, radio, pesawat terbang serta teknologi lainnya, terlebih lagi pemograman website, aplikasi (software) pun tidak akan pernah ada. Tahukah kalian kenapa ...? Hal ini dikarenakan angka 0 (nol) adalah unsur terpenting dalam algoritma sebuah pemograman angka binner biasa disebut yang terdiri dari angka 0 (nol) dan 1 (satu.) Jadi jika tanpa angka 0 (nol) maka kita tidak akan dapat menikamati kecanggihan teknologi saat ini. Adanya angka 0 (nol) ini dikarenakan kebiasaan sang bapak matematika membaca dan menulis serta selalu haus akan ilmu.
Zaid bin Tsabit kita mengenalnya. Zaid adalah anak muda yang cerdas. Ketika Rasulullah sampai di madinah, usianya baru 11 tahun dan ia sudah menghafal 17 surat Al Qur’an yang kemudian langsung di murajaah oleh Rasulullah SAW. Zaid juga berhasil menyempurnakan hafalan qur’annya ketika Rasulullah SAW masih hidup. Kemampuan bahasa dan tulis-menulis Zaid juga di atas rata-rata. Bahkan Rasulullah sempat menyuruhnya belajar beberapa bahasa asing termasuk bahasa kaum Yahudi, dan hebatnya Zaid dapat mempelajarinya dengan cepat. Selain itu ia juga mahir bahasa Persia, Roma serta Habasyah. Karena kemampuan bahasa itulah Zaid menjadi salah satu penulis surat-surat dakwah Rasulullah SAW. “Aku pernah menulis Rasulullah SAW kepada kaum Yahudi dan ketika datang balasan dari mereka, aku juga yang membacakannya untuk beliau,” ujar Zaid.
Rasulullah sering memanggil Zaid untuk menuliskan wahyu Al Qur’an yang datang secara bertahap, meski sebenarnya ia bukan satu-satunya penulis wahyu. Masih ada Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Mas’ud dan Ubay bin Ka’ab. Jika tiga nama pertama berasal dari sahabat Muhajirin, maka Zaid dan Ubay bin Ka’ab adalah bagian dari sahabat Anshar.
Karena keistimewaan Zaid itulah kemudian Abu Bakar menyuruhnya untuk memenuhi permintaan Umar yang ingin mengumpulkan Al Qur’an menjadi satu mengingat banyak penghafal Al Qur’an yang syahid di pertempuran Yamamah. Awalnya Abu Bakar juga kurang setuju dengan usul Umar untuk mengumpulkan wahyu Allah tersebut karena menganggap hal tesebut adalah bid’ah yang tak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Akan tetapi setelah istikharah akhirnya Abu Bakar menyetujuinya dan memberikan mandat kepada Zaid untuk menghimpun catatan dan hafalan Al Qur’an yang tercecer di antara para sahabat yang masih hidup. “Engkau adalah seorang pemuda yang cerdas, Zaid. Kami tidak pernah meragukan kemampuanmu. Engkau juga selalu diperintahkan Nabi SAW untuk menuliskan wahyu, maka kumpulkanlah ayat-ayat Qur’an tersebut..” Abu Bakar memberikan mandat kepada Zaid bin Tsabit.
Reaksi Zaid bin Tsabit tak ada bedanya dengan reaksi Abu Bakar ketika menerima usulan Umar bin Khattab. “Demi Allah, ini adalah pekerjaan yang berat. Seandainya kalian memerintahkan aku untuk memindahkan sebuah gunung, rasanya itu lebih ringan daripada tugas menghimpun Al Qur’an yang engkau perintahkan tersebut,” ujar Zaid.
Setelah diyakinkan akhirnya Zaid menerima amanah tersebut dan mulai mendatangi para sahabat untuk mengumpulkan hafalan Al Qur’an. Sebenarnya Zaid sudah mempunyai hafalan yang lengkap yang bahkan langsung disetorkan kepada Rasulullah, tapi ia tidak mau gegabah dan hanya mengandalkan hafalan sendiri. Ia mengumpulkan hafalan para sahabat yang ditulis di daun, tulang, pelepah kurma, kulit dan sebagainya untuk kemudian ia tulis ulang dalam lembaran-lembaran dan mengikatnya menjadi satu. Ia mengecek hafalan yang dimiliki dengan hafalan para sahabat yang lain. Dengan cermat ia mendatangi satu-satu para sahabat untuk menyamakan dan meminimalisir kekeliruan yang bisa saja terjadi. Itulah mushaf pertama yang dimiliki umat Islam dan Zaid memerlukan waktu satu tahun untuk menyelesaikan semua.
Baca Juga
Pada masa Rasulullah, Al Qur’an diturunkan dengan tujuh macam bacaan (qira’ah sab’ah). Rasulullah sengaja memintanya demikian untuk memudahkan umat muslim yang mempunyai karakter bahasa yang berbeda-beda, sehingga pelafalan juga berbeda. Karena itu ketika sudah mengikuti salah satu bacaan (qiraat) maka sudah dianggap benar.
Adalah Hudzaifah bin Yaman dan beberapa sahabat lainnya yang kemudian mengusulkan kepada Khalifah Utsman bin Affan untuk menyatukan mushaf Al Qur’an dalam satu bacaan saja. Mereka khawatir akan terjadi perpecahan dengan banyaknya jenis bacaan mengingat wilayah Islam sudah merambah ke Eropa, bukan hanya di jazirah Arab saja. Awalnya Utsman tidak setuju dengan usul tersebut, sama halnya dengan Abu Bakar, ia takut perbuatan itu jatuh ke dalam bid’ah. Namun kemudian Utsman menyetujuinya setelah istikharah dengan mempertimbangkan segala mudharat dan manfaatnya.
Zaid bin Tsabit kembali mendapat amanah besar ini. Menyusun kodifikasi Al Qur’an menjadi satu bacaan saja untuk kemudian disebarkan seluas-luasanya, sehingga mushaf Utsmani itulah yang sekarang beredar di sekitar kita dan kita baca sehari-hari.
Apa yang dapat kita ambil dari kisah-kisah diatas ? Ya...tentu saja potensi dasar dari semua manusia yaitu MENULIS. Karena dengan menulis kita akan dicatat oleh sejarah tetapi tanpa menulis kita akan hilang ditelan peradaban.
Beri Komentar Tutup comment