Indonesiaku Nirwana yang Terlupakan.
Sepanjang pantai membujur, sepanjang itu pula garis bentang negeriku. Seluas samudra terhampar, seluas itu pula keberagaman negeriku. Keberagaman suku, ras, dan budaya serta agama dan aliran kepercayaan di negeri ini membuat warna warni keindahan tidak akan pudar hingga kelak nanti.
Assalamualaikum sahabat negeriku,
Jaya Indonesia...Kisah sekolah tua kita.
Sebagai anak dari seorang guru!!! Aku melihat Indonesia bagai sekolah tua yang berdiri tanpa harapan. Harapan ada, tetapi kepala sekolah tidak bisa membaca. Mungkin juga dia dapat membaca!!! Tapi sayang ... telah tertutup hasrat membabi buta. Hasrat hidup bagi saudara, keluarga, kolega serta pribadi dan golongan.
Indonesia seperti sekolah tua dengan guru dan siswa berbagai rupa. Mulai dari sumatera, Jawa, Madura sampai Papua bersatu dalam negeri nirwana Nusantara jaya.
Tujuh kali sudah kita berganti pemimpin, tujuh kali pula kita semakin jauh dari kata sejahtera.
Kepala sekolah pertama,
Sang proklamator bersama bung Hatta membangun negeri dengan semangat Pancasila dan terkenal di kalangan wanita. Yang pernah berkata mampu guncangkan dunia dengan sepuluh pemuda. Merebut Papua dengan tekad membaja. "Ganyang" Malaysia teriakan terakhir sang proklamator bangsa.
Kepala sekolah kedua,
Tiga puluh dua tahun berkuasa. Hadir dengan program bernama "pelita." Bagi mereka bapak pembangunan, tapi tidak bagi si awam yang mencari suaka. Keluarga Cendana istana sang jenderal. Rakyat bersuara berakhir di penjara atau hilang di tengah lautan lepas tanpa kabar dan berita.
Kepala sekolah ketiga,
Seorang wakil yang naik tahta. Mewakili pecah belah masa orde baru. Belum sempat mengabdi dia terhenti di tahun pertama. Dibanggakan di Eropa dipermainkan di Indonesia. Jerman dapat ilmunya, Indonesia dapat apa ..... ??? Hanya antrian panjang nonton filmnya.
Kepala sekolah keempat,
Sang kyai dengan hati terbuka. Terhenti di sidang istimewa. Ketika tokoh reformasi berebut istana. Sang kyai tersenyum sambil berkata "gitu saja kok repot"
Kepala sekolah kelima,
Kepala sekolah pertama seorang wanita di negeri nirwana negeri para dewa. Dari tangan ibunya bendera pusaka tercipta. Tercipta dengan kehangatan dan semangat juang. Tiga orang anak terlahir dari rahimnya. Berjuang untuk rakyat, katanya!!! Namun jauh dari keadilan, faktanya.
Kepala sekolah keenam,
Dua kali pemilu unggul dalam perolehan suara. Dua kali pula diangkat sumpah atas nama Garuda. Tapi ini hanya awal cerita dari sebuah petualangan. Cerita panjangnya banyak terpampang dengan jelas di media sosial dan berita. Lapindo, Munir, Hambalang "Indonesia menolak lupa."
Kepala sekolah ketujuh,
Berawal dari wali kota sampai nomor satu di Indonesia. "Blusukan" menjadi cirinya, bercita-cita menyatukan Indonesia sumpah palapa menjadi acuannya untuk banggakan Indonesia. Kartu sehat programnya dengan sejuta kisah rakyat jelata ditolak mentah-mentah karena si kaya lebih berkuasa.
Begitulah kisah sekolah tua yang diujung tanduk, membujur kaku dalam dekapan harapan palsu. Kata sejahtera hanya sebagai kiasan yang jauh dari makna cinta kepada kisah si jelata.
Kini Dua Ribu Sembilan Belas (2019) telah tiba. Saatnya kita memilih kepala sekolah baru bagi sekolah tua kita ditengah antah berantah. Dengan Hati dan pikir yang jernih!!! Pastikan dia yang mengerti bhinneka tunggal ika bukan boneka milik Amerika. Dengan rasa sayang!!! Yakinkan diri dalam bayangan jiwa jika dia cinta nusantara bukan cinta negeri China.
Kawan dan sahabat,
Gunakanlah hak pilih dengan bijak!!! Jangan sia-siakan hak pilih kalian. Karena kemajuan bangsa tergantung pada apa yang kita tentukan hari ini. 17 April 2019 adalah langkah konkrit bagi mereka yang menginginkan negara ini berjaya dan memiliki masa depan.
Baca Juga
Terima kasih telah menemani postingan pada kali ini semoga apa yang ditulis disini menjadi semangat untuk menyalurkan hak pilih kita di tanggal 17 April 2019 nanti. Oohh iya kawan, untuk melindungi hak pilih kita segera kunjungi situs KPU untuk cek data diri kita sebagai pemilih.
https://lindungihakpilihmu.kpu.go.id/
Beri Komentar Tutup comment