Tulisan kiriman dari pak Dodo menarik untuk dibaca, mas IG sudah tiga kali membacanya dan menurut penilaian mas IG tulisan ini menarik. Selamat membaca.
Assalamu'alaikum,
Malam itu bulan warnanya pucat, gugusan hitam diseparuh lingkarannya menghalangi terangnya. Angin seperti berhenti bergerak, enggan menepikan gugusan hitam itu, sementara derai-derai hujan masih menyisakan bulir air yang tertambat di ranting pohon depan asrama, warnanya tidak memantul, karena sinaran rembulan yang kembali menyelinap dibalik pohon yang menjulang seperti ingin menembus cakrawala.
Malam, seperti sajak itu menghadirkan sebuah kamar dengan luas yang terbatas, hingga terlalu sempit buat menghadirkan mimpi-mimpi. Penghuninya hampir 30 orang, kamar pun terasa kerdil dan sesak, ketika sebuah jendela yang tidak tertutup rapat menghubungkannya dengan dunia luar yang begitu perkasa. Sahabat saya tertidur dalam sedu, di sisi lain teman-teman terbaring jemu namun lelap. Malam itu, mata saya tidak terpejam, ditengah keheningan saya mengharap cahayaNya meski terbatas. Cahaya yang bisa menjadi pelita menemukan buku catatan saya yang hilang. Kehilangan buku catatan itu, menjadikan malam dan hari-hari selanjutnya selalu terselip doa untuk menemukannya.
Buku catatan itu, tebalnya 5 cm, hasil kumpulan kertas yang dijilid tebal. Saya mengumpulkannya dari remah-remah kertas kosong sisa buku-buku teman yang berserak di sudut-sudut kelas, asrama, atau tempat lainnya tempat santri-santri merapal bait-bait Mahfudzat dan kosakata bahasa asing. Di buku itu saya menuliskan banyak hal tentang cerita dan kejadian, puisi, bahkan satu judul cerita yang ditulis panjang. Namun, tulisan itu menjadi kisah yang tidak pernah selesai, sejak buku itu raib entah dimana. Berhari, berbulan dan di setiap sunyi, saya selalu berharap buku itu ditemukan.
Sejak itu, saya seperti menjadi jumud, kehilangan buku itu “menghentikan” saya mencari kertas-kertas lain agar bisa dijilid jadi buku tebal, menghentikan saya menuliskan sebuah peristiwa, menorehkan keriangan dalam cerita saya yang terpenggal itu. Saya menuliskan duka dan sedu kepada Tuhan, dan harapan agar cahayaNya tiba-tiba hadir dan menemukan buku itu. Tahun 1990, waktu yang tertera di kalender dinding kamar itu. Dalam halaman ini, saya bukan “curhat”, namun saya yakin, kita semua pernah mengalami “kehilangan”, apalagi yang hilang itu memiliki nilai berarti dalam hidupnya.
Ketika seorang ibu kehilangan anaknya karena berbagai hal, sedu sedan, pilu dan tangis menjadi metafor merefleksikan kehilangannya. Seorang tentara akan menghamburkan peluru-peluru tajamnya ke arah musuh ketika melihat sahabatnya bergelimang darah di sebuah palagan. Seekor harimau-pun melinangkan air matanya ketika anaknya terbujur kaku di sahara yang kering. Dan kita pun mungkin membuncahkan air mata merefleksikan rasa kehilangan akan sesuatu yang berarti bagi kita. Kita tahu, dalam hidup ini, karena fana dan sementara selalu ada sesuatu yang mesti dilepas dan diambil - itu karena sifat kefanaannya - apa yang dimiliki kita bukan mutlak kita pemiliknya. Ketika dilepas dari haribaan seorang Ibu, anaknya kembali ke pemilikNya, ketika harta kita diambil, harta itu kembali menjadi milikNya.
Baca Juga
Apa yang dimiliki, apa yang dicintai, dan apa yang diimpikan ternyata tak pernah ditentukan mutlak oleh kita sendiri dan ditentukan orang lain. Kehilangan adalah cara Tuhan memberikan ruang lain bagi kita untuk diisi dan dimaknai lebih intens. Dalam duka karena kehilangan, manusia cenderung akan mencari Tuhan sebagai tempat bersandar. Mencari tempat dan waktu agar bisa lebih dekat denganNya agar bisa berbicara dan curhat lebih pribadi. Namun, tak jarang juga rasa kehilangan sering menjadi alasan manusia atau kita tidak lagi men-daras doa, rasa frustasi, marah menjadi amuk pada dirinya sendiri, orang lain, bahkan Tuhan menjadi sasaran penyebab kehilangan itu. Kehilangan mungkin akan menjadi medium menuju ke arah yang lebih baik, mungkin ke bentuk yang lebih buruk bila kita gagal memaknai rasa kehilangan itu.
Bila kita harus menangis dan berduka, itulah sisi lain kemanusiaan yang kita miliki. Kehilangan dalam dimensi kosmis yang fana, karena manusi memang tidak memiliki otoritas mutlak atas apa yang dimilikinya sekalipun diperolehnya dengan kerja keras. Yang esensi, kita tidak boleh kehilangan keyakinan bahwa Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang selalu ada dan dijadikan sandaran setiap saat dalam bahagia dan duka. Buku catatan saya itu tidak pernah ditemukan lagi hingga saat ini, namun saya selalu ingat bentuk dan warnanya, isi torehan penanya, dan maknanya.
Tulisan kiriman dari :
Nama : DODO MURTADO, S.Ag
Pendidikan : S1, Bahasa dan Sastra Arab, IAIN Jakarta, 2000
Beri Komentar Tutup comment